Ngangsu Kawruh Basa Jawi
Bahasa Jawa Kuno dipergunakan pada paruh kedua abad pertama Masehi.
Perkiraan ini didasarkan pada penemuan prasasti Sukabumi yang
dikeluarkan pada tanggal 25 Maret 804. Hingga saat ini, prasasti ini
merupakan bukti tertua penggunaan bahasa Jawa Kuno yang telah ditemukan.
Sedangkan prasasti-prasasti lain yang telah ditemukan dan lebih tua
dari pada prasasti Sukabumi, ditulis bukan menggunakan bahasa Jawa Kuno,
melainkan dengan bahasa Sansekerta. Bukti-bukti tertulis yang lebih
muda dari itu ditulis dengan menggunakan bahasa Jawa Kuno. Maka dari
itu, berdasarkan data-data yang tersedia hingga saat ini, diambil
kesimpulan bahwa bahasa Jawa Kuno dipergunakan sejak tahun 804 dan
masa-masa sebelum itu merupakan masa prasejarah.Pengetahuan mengenai bahasa Jawa Kuno belum begitu banyak. Sebabnya
adalah tidak tersedianya bukti-bukti penggunaan bahasa tersebut. Rentang
waktu yang cukup panjang menyebabkan bahan yang digunakan untuk menulis
pada saat itu tidak tahan lama. Bahan-bahan yang awet seperti perunggu
atau batu hanya digunakan untuk mengabadikan dokumen-dokumen resmi
sangat penting yang berpengaruh pada generasi yang akan datang. Itulah
mengapa sulit ditemukan bukti tertulis bahasa Jawa Kuno.
Dengan hambatan tersebut, maka digunakan jalan lain untuk mempelajari
bahasa Jawa Kuno. Yaitu dengan mencari informasi dari naskah-naskah
yang bukan Jawa Kuno namun menggambarkan kondisi di Jawa pada saat itu.
Adapun sumber yang ada sangkut pautnya dengan Indonesia dan dapat
memberikan informasi mengenai keadaan Jawa pada saat itu adalah
sumber-sumber dari Tiongkok. Pada abad ke-7, banyak peziarah Cina yang
melakukan perjalanan ke India, tujuannya adalah mengunjungi
tempat-tempat suci agama Buddha dan mempelajari agama itu. Indonesia
sering dijadikan tempat singgah. Kadang mereka malah menyempatkan diri
meluangkan waktu beberapa bulan atau bahkan beberapa tahun untuk
mempelajari agama Buddha di Indonesia. Untuk tujuan itu, mereka
mempelajari bahasa Sansekerta untuk menerjemahkan teks-teks yang
berhubungan dengan agama Buddha ke bahasa Cina.
Sangat memungkinkan, bahwa dalam proses mempelajari bahasa
Sansekerta, bahasa yang digunakan sebagai bahasa pengantar adalah bahasa
pribumi yang digunakan sehari-hari. Walaupun bahasa Sansekerta sangat
mempengaruhi bahasa-bahasa di nusantara pada saat itu, namun tidak
terdapat tanda-tanda digunakannya bahasa tersebut dalam kehidupan
sehari-hari. Yang harus kita ketahui selanjutnya adalah bahasa apa yang
digunakan pada saat itu. Sumber-sumber Tiongkok menyebut bahasa itu
dengan kata k’un lun. Kata ini digunakan untuk menyebut beragam
bahasa di nusantara. Mungkin bagi mereka bahasa-bahasa tersebut
terdengar sama, berhubung bahasa-bahasa tersebut memiliki ciri
linguistik yang berdekatan dan mengandung banyak kosakata dari bahasa
Sansekerta. Sekian saja keterangan yang didapatkan mengenai masa
pra-sejarah bahasa Jawa Kuno.
Pada tahun 804, bahasa Jawa Kuno telah berkembang selama berabad-abad
dan muncul sebagai bahasa yang digunakan dalam sarana tulis.
Perkembangan ini terus berlanjut sampai pada abad ke-15 telah matang
sebagai bahasa kesusastraan.
Bahasa Jawa Kuno yang merupakan salah satu bahasa Nusantara termasuk
dalam rumpun bahasa Austronesia. Dan diantara bahasa-bahasa Nusantara
lain yang lebih tua, bahasa Jawa Kuno memiliki tempat yang istimewa
karena memiliki karya sastra tertulis yang lebih tua, yaitu berasal dari
abad ke-9 dan ke-10, sedangkan bahasa lain seperti Sunda dan
Minangkabau karya sastra tertuanya berasal dari tahun 1600-an. Dari
sebutannya, kita dapat mengetahui bahwa bahasa ini merupakan bentuk
bahasa Jawa yang tertua.
Bahasa Jawa Kuna memiliki dua sifat yang nampak. Pertama, banyak
mendapat pengaruh dari bahasa Sansekerta. Pengaruh ini terutama pada
kekayaan kosakata. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa perbandingan
kosakata bahasa Sansekerta yang digunakan dalam bahasa Jawa Kuno begitu
besar, melebihi perbandingan kosakata Sansekerta pada bahasa Nusantara
lainnya. Meskipun berasal dari rumpun yang berbeda dan memiliki ciri
linguistik yang berbeda,namun pengaruh yang kuat dari bahasa Sansekerta
tidak sampai merubah karakteristik bahasa Jawa Kuno, melainkan malah
memperkaya kosakatanya. Mengenai bagaimana masuknya pengaruh dari India
ke Jawa tidak dapat diketahui secara pasti, namun hanya dapat
diperkirakan berdasarkan pengkajian informasi. Ada beberapa pendapat
yang mencoba menjelaskan perihal ini. Yang paling banyak diyakini para
sarjana adalah penjelasan bahwa pengaruh India dibawa oleh para pedagang
dan lambat laun bercampur dengan pribumi. Pendapat lain mengatakan
bahwa kasta kşatria yang bertualang, menanamkan kekuasaan dan
menjadi rajadi Jawa. Atau dari ulama-ulama yang menebarkan pengaruhnya
pada raja-raja dan kalangan keraton atau kalangan terpelajar.
Pengaruh India Terhadap Bahasa Jawa Kuno, Peranan Bahasa Sansekerta
Pengaruh India yang paling besar adalah pengaruh dari bahasa
Sansekerta. Pada masa ketika Jawa mulai mendapat pengaruh yang besar,
bahasa Sansekerta sudah tidak digunakan sebagai bahasa pengantar dalam
kehidupan sehari-hari. Bahasa ini adalah bahasa sastra, dan hanya
digunakan lapisan atas masyarakat, istana, dan dalam acara keagamaan.
Sedangkan dalam kehidupan sehari-hari terdapat beberapa bahasa daerah
yang digunakan di tempatnya masing-masing.
Mengingat begitu banyaknya pengaruh, terutama dalam hal kosakata
bahasa Sansekerta terhadap bahasa Jawa Kuno, maka akan terlihat suatu
kejanggalan. Yakni dari mana pun pengaruh dari India datang ke Jawa,
pada masa itu tidak seharusnya bahasa Sansekerta digunakan dalam
kehidupan sehari-hari. Sehingga tidak seharusnya masyarakat Jawa pada
saat itu mengetahui cara pengucapan kosakata bahasa Sansekerta yang
banyak mereka tiru. Walaupun kita juga tidak mengetahui bagaimana cara
pengucapan bahasa Jawa Kuno oleh masyarakat pada saat itu. Kita hanya
mengetahui perihal bahasa Jawa Kuno dari bukti tertulis. Sehingga kita
hanya mengetahui bahasa Jawa Kuno sebagai bahasa sastra. Namun
kemungkinan bahwa terdapat bahasa lain atau bentuk lain bahasa Jawa Kuno
yang digunakan untuk percakapan sehari-hari kurang dapat diterima.
Ada hal lain yang menarik perhatian dalam penyerapan bahasa
Sansekerta pada bahasa Jawa Kuno. Kategori kata yang dipinjam dari
bahasa Sansekerta hampir semuanya termasuk dalam kategori kata benda dan
kata sifat. Kata-kata itu kemudian diperlakukan tidak sesuai dengan
aturan bahasa asalnya, namun sesuai dengan tata bahasa Jawa Kuna.
Misalnya adalah kosakata bahasa Sansekerta yang dibubuhi afiksasi Jawa
Kuna.
Kita dapat mengambil kesimpulan bahwa pengaruh asing masuk ke dalam
bahasa Jawa Kuno sedemikian rupa sehingga tidak merubah sifat asalnya.
Di sisi lain, penyerapan bahasa Sansekerta tidak pernah disertai dengan
perubahan fonetisnya. Tidak ada bunyi-bunyi asing yang ejaannya
disesuaikan dengan ejaan Jawa Kuno. Karena kita hanya mengetahui
mengenai bahasa Jawa Kuno melalui sumber tertulis, maka kita juga hanya
dapat mengetahui perihal ejaan ini dari cara penulisannya. Ejaan yang
tidak terdapat pada bahasa Jawa Kuno seperti bunyi-bunyi beraspirasi
(kh, th, ph, dan sebagainya), vokal panjang dan pendek (a-ā, i-ī), perbedaan bunyi ai dan e, serta perbedaan desis (ś, ş, dan s) tetap ditulis apa adanya. Kemungkinan ini disebabkan karena keinginan untuk menyamakan dengan aslinya.
Sebenarnya tidak diketahui alasan penggunaan pengaruh bahasa
Sansekerta pada bahasa Jawa Kuno. Tidak ditemukan keperluan untuk
mengadakan perubahan pada bahasa Jawa Kuno. Namun bahasa Sansekerta
merupakan bagian yang penting dari kebudayaan baru yang ingin mereka
miliki. Sastra Sansekerta dianggap sebagai mode, untuk dicontoh dan
ditiru sambil dipungut kosakatanya. Dapat menggunakannya berarti
meninggikan gengsi. Alasan lain yang mungkin adalah kebutuhan para
sastrawan pada saat itu untuk memperkaya kosakata, untuk kepentingan
pemenuhan aturan-aturan ketat pada puisi Jawa tentang rima dan laras.
Dalam penyerapan suatu bahasa pada bahasa lain, sangat mungkin
terjadi adanya beberapa perubahan, misalnya perubahan semantis, sehingga
tidak sesuai dengan arti pada bahasa asalnya. Perubahan ini dapat
terjadi karena penyesuaian akan keadaan lingkungan pada masing-masing
bahasa yang berbeda. Proses perubahan ini terjadi secara dan bertahap,
dan akan semakin mudah bila kontak dengan bahasa asal semakin kecil.
Perubahan semantis kata-kata asli Sansekerta lebih sering terjadi
seiring dengan makin berkurangnya pengaruh India terhadap bahasa dan
kebudayaan Jawa. Dari sini kita dapat memperkirakan umur suatu naskah
berdasarkan bahasanya, semakin jarang kata-kata Sansekerta, semakin muda
teks tersebut. Namun patut pula diperhitungkan kemungkinan bahwa
perubahan semantis itu terjadi di tempat asalnya.
Pengaruh bahasa Sansekerta pada saat itu tidak hanya tertanam di
Jawa. Di daerah Nusantara yang lain pun juga terjadi. Contohnya di
Campa, jenis-jenis sastra klasik Sansekerta dipelajari dengan mendalam,
sehingga sastra pribumi diabaikan. Sebenarnya sumber-sumber teks sastra
di Jawa pada masa itu tidak begitu banyak yang ditemukan, namun bila
dibandingkan dengan sumber dari Campa pada masa yang sama, dapat
diketahui perbedaannya. Teks Jawa ditulis dengan menggunakan bahasa Jawa
Kuno dan tidak ditemukan sama sekali teks yang menggunakan bahasa
Sansekerta. Sedangkan teks dari Campa malah menggunakan bahasa
Sansekerta seluruhnya, dari pada menggunakan bahasa pribumi dengan
pengaruh Sansekerta. Jadi, bila yang terjadi di Campa adalah lupakannya
sastra pribumi, maka yang di Jawa, adanya pengaruh dari India malah
memperkaya dan memperkuat adanya sastra pribumi.
Meskipun begitu, kita tidak dapat menyimpulkan bahwa di Campa tidak
terdapat kebudayaan pribumi selain pengaruh dari India. Tidak
ditemukannya bukti-bukti keberadaannya kemungkinan terjadi karena
kondisi tertentu yang menyebabkan bukti-bukti tersebut tidak bertahan.
Mungkin karena bahannya yang memang tidak dapat bertahan hingga
berabad-abad, atau mungkin juga karena kondisi historis di daerah
tersebut yang sering mengalami peperangan hingga sulit mempertahankan
benda-benda budayanya.
Yang dapat diketahui hingga saat ini adalah, walaupun sulit menemukan
bukti tentang keberadaannya, kita telah mengetahui bahwa sastra Jawa
Kuno tetap bertahan, dan adanya pengaruh dari India bukannya melemahkan,
malah memperkaya sastra Jawa Kuno.
Kerangka Historis Sastra Jawa Kuno
Bila sastra Jawa digolongkan berdasarkan periodesasi, maka dari cara
penyebutannya, kita dapat memperkirakan bahwa Jawa Kuno merupakan
periode paling awal, yaitu sekitar abad ke-9. Walaupun sebenarnya tidak
dapat diketahui secara mutlak kapan suatu karya dibuat, karena dalam
suatu karya tidak pernah dicantumkan tanggal pembuatannya. Yang paling
mungkin ialah penyebutan kapan karya tersebut dibuat, namun dari
petunjuk yang ada tetap saja tidak dapat diketahui tanggal pasti
pembuatannya, kadang hanya dapat diperkirakan abadnya, atau malah hanya
periodenya saja.
Pada sekitar abad ke-9, pusat kekuasaan dan kebudayaan Jawa terdapat
di Jawa Tengah. Namun sekitar tahun 930 terjadi pergeseran pusan
kekuasaan ke Jawa Timur. Kemudian kekuasaan ini pun melemah karena
beberapa sebab dan terdapat beragam peristiwa yang tidak akan dibahas
secara mendetil disini. Yang dapat disebutkan adalah bahwa akhirnya
kekuasaan di Jawa dipegang oleh pangeran yang berasal dari Bali.
Menyaksikan perkembangan kebudayaan budaya Jawa, maka penguasa di Bali
saat itu menaruh perhatian, dan akhirnya prasasti-prasasti yang dulunya
ditulis dalam bahasa Bali Kuno, kemudian dicatat dengan bahasa Jawa
Kuno. Meskipun begitu, tidak ditemukan adanya sastra Jawa Kuno yang
berasal dari Bali dibuat pada masa ini.
Sejarah terus berkembang hingga tiba lah pada masa kekuasaan
Majapahit. Kerajaan Majapahit begitu kuat hingga kekuasaannya mencakup
banyak sekali wilayah di luar Jawa. Kekuasaan di Bali pun berhasil
direbut. Sejak itu kebudayaan di Bali mendapat pengaruh yang sangat
besar dari Jawa. Sebaliknya, kebudayaan Jawa juga mendapat pengaruh dari
budaya Bali. Jadi, Bali juga memiliki sumbangan terhadap Jawa Kuno.
Seiring berjalannya waktu, setelah mengalami masa kejayaan yang luar
biasa, Majapahit mulai melemah. Dan ketika mulai datang ajaran agama
Islam, lama kelamaan ajaran Hindhu terdesak, begitu pula kerajaannya,
sehingga masa kebudayaan Jawa Kuno pun berakhir. Malah diperkirakan,
besar kemungkinan pada saat itu banyak peninggalan dari kebudayaan
Hindhu termasuk sastra Jawa Kuno tidak dapat bertahan, atau malah
dihancurkan dengan sengaja.
Bila memang benar telah dilakukan penghancuran secara sengaja, maka
alasan yang mungkin dapat diterima adalah usaha untuk melemahkan budaya
Hindhu-Budha dan menanamkan pengaruh baru, yaitu Islam. Dari sekian
banyak karya yang dihancurkan, karya-karya besar yang banyak disukai
tetap bertahan, seperti Rāmāyaņa dan Arjunawiwāha .
Kesusastraan yang dulunya jaya, tidak dapat bertahan lagi dan hanya
meninggalkan sedikit saja peninggalan. Di Bali yang tidak mengalami
perubahan seperti yang terjadi di Jawa, dapat tetap menjaga budaya Jawa
Kuno dengan baik. Pada situasi ini lah Bali sangat berjasa hingga sastra
Jawa Kuno masih dapat diketahui hingga saat ini.
Bahasa Jawa Kuno dan Pertengahan ; Kakawin dan Kidung ; Kesusastraan
Untuk memberikan batasan yang jelas pada objek penelitian, maka perlu
dijelaskan batasan objek. Objek bahasan ini adalah Sastra Jawa Kuno,
maka perlu diberi pengertian apa yang dimaksud dengan sastra Jawa Kuno.
Secara ringkas, dapat dikatakan yang menjadi objek di sini adalah karya
yang dapat dikatakan bernilai sastra, “Jawa Kuno” dalam arti yang
seluas-luasnya, dengan mengesampingkan sastra Jawa Modern.
Bahasa Jawa Kuno yang telah disebutkan sejak abad ke-9 merupakan
bentuk bahasa Jawa yang tertua dan sangat mungkin mengalami berbagai
perubahan. Perbandingan bahasa Jawa Kuno yang digunakan pada abad ke-9
dengan abad ke-15, ada perubahan semantis, juga perubahan gramatikal,
perubahan-perubahan tersebut sangat kecil. Sehingga dapat dikatakan
karya sastra abad ke-15 masih merupakan Jawa Kuno.
Namun bila pembandingan dilakukan antar jenis karya sastra, seperti
kakawin dengan Kidung Sunda, maka dapat ditemukan perbedaan bahasa yang
cukup menonjol. Perbedaan itu berupa perubahan gramatika dan morfologi.
Karena dapat dipastikan bahwa bahasa kakawin digunakan lebih awal dari
pada bahasa kidung, maka istilah yang digunakan untuk menyebut bahasa
yang lebih baru ini adalah bahasa “Jawa Pertengahan”. Sebenarnya istilah
ini dapat menimbulkan kesan bahwa bahasa Jawa Pertengahan adalah bahasa
peralihan antara bahasa Jawa Kuno dengan bahasa Jawa Baru, namun
sebenarnya tidak mutlak seperti itu. Sayangnya hingga saat ini belum
ditemukan cara penjelasan atau penyebutan yang tepat.
Penjelasan yang dapat diberikan adalah bahwa dalam sastra Jawa Kuno
dalam arti luas, terdapat dua macam puisi, yaitu Kakawin dan Kidung.
Perbedaan dari kedua puisi ini adalah, kakawin menggunakan metrum dari
India sedangkan Kidung menggunakan metrum asli Jawa atau Indonesia.
Bahasa yang digunakan pada kakawin adalah bahasa Jawa Kuno, dan bahasa
yang digunakan pada kidung adalah bahasa Jawa Pertengahan. Namun tidak
dapat dikatakan bahasa Jawa Kuno adalah bahasa kakawin atau bahasa Jawa
Pertengahan adalah bahasa kidung, karena kelain puisi-puisi tersebut,
ada karya sastra dalam bentuk lain (contohnya prosa) yang menggunakan
bahasa-bahasa tersebut.
Jadi, penyebutan bahasa ‘Jawa Kuno’ dan bahasa ‘Jawa Pertengahan’
tidak menunjukkan skala waktu. Bahasa yang digunakan dalam suatu teks
tidak dapat menunjukkan umurnya. Umur suatu teks dapat dikira-kira
dengan melihat bila saja dalam teks tersebut disertakan nama seorang
raja yang memerintah pada saat itu, dan mencocokkannya dengan sejarah.
Harus diingat juga bahwa generasi yang lebih muda tetap merasa harus
menggunakan aturan-aturan Jawa Kuno yang telah berlaku sejak dulu. Ini
membuat sastra Jawa Kuno memiliki karya dari rentang waktu yang sangat
lama. Demikian juga yang berlaku pada sastra Jawa Pertengahan. Lama
kelamaan, karena kontak diantara keduanya yang makin berkurang,
perbedaan semakin besar, meliputi ketidaksesuaian gramatikal dan
morfologis. Bahasa pada kidung malah terlihat tanda-tanda Balinisme.
Maka Jawa Pertengahan telah mengalami perkembangannya sendiri.
Semakin jelas pengertian bahwa sebagian karya sastra Jawa Kuno lebih
muda dari pada sastra kidung yang merupakan Jawa Pertengahan. Banyak
terdapat ciri-ciri Bali pada Jawa Pertengahan dan sepanjang yang
diketahui sejauh ini, semua karya sastra Jawa Pertengahan berasal dari
Bali. Namun tidak berarti sastra Jawa Pertengahan tidak di kenal di Jawa
pada masa Majapahit. Karena sangat memungkinkan sastra Jawa Pertengahan
yang ada di Bali juga berasal dari Jawa.
Sekali lagi perlu ditekankan bahwa istilah Jawa Pertengahan bukan berarti transisi dari Jawa Kuno menuju Jawa Modern.
Istilah Jawa Modern disebut untuk menunjukkan bahasa yang digunakan
dalam sastra Jawa pada masa mara pujangga pada akhir abad ke-18 hingga
awal abad ke-19. Bahasanya sama dengan bahasa Jawa digunakan sampai saat
ini, dan umumnya digunakan sebagai patokan bahasa Jawa yang halus.
Ada dua naskah berbahasa Jawa Modern yang dihadiahkan pada
perpustakaan Universitas Leiden. Keduanya dibawa oleh sebuah kapal dalam
pelayaran pertama ke Jawa. Jadi kedua naskah tersebut pasti lah berasal
dari abad ke-16. Sedangkan pada saat itu, juga ditemukan adanya sastra
Jawa Kuno dan Jawa Pertengahan yang masih bertahan di Bali. Jadi,
semakin kuat lah kenyataan bahwa istilah-istilah penyebutan tersebut
tidak menunjukkan suatu kronologi.
Ada pendapat yang menyatakan bahwa Jawa Pertengahan dan Jawa Modern
berasal dari batang yang sama. Sejak masuknya pengaruh Islam di Jawa,
terjadi perpecahan, yaitu antara Jawa Kuno yang bertahan pada
Hindhu-Jawa yang akhirnya bertahan di Bali, dengan pengaruh bahasa Arab
yang mengambil alih pengaruh utama terhadap bahasa pribumi.
Pendapat ini dilemahkan oleh penelitian yang menghasilkan pengetahuan
bahwa Jawa Pertengahan sudah ada beberapa abad sebelum Majapahit
runtuh, bahkan hampir merupakan Jawa Modern.
Sangat sulit untuk menjelaskan makna sesungguhnya dari bahasa Jawa
Kuno, Jawa Pertengahan, dan Jawa Modern. Singkatnya, penelitian tentang
Jawa Kuno tidak termasuk bahasa Jawa yang menunjukkan adanya pengaruh
Islam atau Arab.
Selanjutnya, yang dimaksud dengan ‘sastra’ yang selanjutnya
disandingkan dengan ‘Jawa Kuno’, adalah perihal kesusastraan, yaitu
keindahan. Seperti pengertian sastra secara khusus.
Bagaimana Sastra Jawa Kuno Diawetkan
Karya sastra Jawa Kuno berasal dari masa yang jauh silam. Hanya
sedikit yang dapat bertahan hingga saat ini. Karya yang dapat kita temui
saat ini pun bukan lagi karya aslinya. Benda peninggalan Jawa Kuno yang
masih asli adalah berupa prasasti dan dokumen-dokumen penting yang
ditulis di batu atau lempengan, tapi tidak termasuk dalam kategori
sastra yang dimaksudkan.
Sebagian besar teks yang selamat dilestarikan dan dijaga di Bali.
Disalin pada bahan daun lontar, yang ketika telah berbentuk buku juga
disebut lontar. Berasal dari kata ron tal dalam bahasa Sansekerta yang juga berarti daun pohon.
Untuk mengawetkannya, dilakukan pengolahan yang cukup rumit. Pertama,
daun dikeringkan, lalu direndam dengan air, seringkali air panas,
kemudian diluruskan dan dijemur kembali, begitu berulang-ulang. Setelah
daun menjadi kaku seperti kayu, kemudian di gosok dengan batu sehingga
kulitnya halus dan mengkilap. Bila digunakan untuk menulis catatan
singkat dan tidak untuk jangka waktu yang lama, lontar yang telah
mengalami proses demikian tadi dilipat sepanjang tulangnya dan bagian
luar ditulisi, sedang bagian dalam tetap kosong. Di Bali, lontar seperti
ini disebut katihan atau ĕmbat- ĕmbatan. Tapi
bila digunakan untuk tujuan lebih awet dan mudah disimpan, dan ingin
membendel seperti buku, maka lemabaran lontar dipotong segi empat
memanjang dengan panjang kira-kira 40 atau 60 cm dan lebar 3 sampai 4
cm. Seperti ini disebut lĕmpiran. Kedua belahannya
ditulisi, masing-masing pasti memuat empat baris tulisan, tidak lebih.
Pada kedua ujung, dan kadang di tengah dibuat lubang kecil untuk
mengikat lembaran-lembaran itu bersama-sama. Kemudian ditambahkan sampul
yang lebih tebal dan dibuat dari bahan yang lebih awet, seperti papan
kayu, atau gading. Tapi yang terakhir ini sangat jarang. Sampul ini
dilubangi dengan cara yang sama kemudian disatukan. Yang demikian ini
disebutcakĕpan. Bila dianggap sangat bermutu, buku-buku itu disimpan dalam kotak kayu yang bisa ditutup rapat, dan disebut kropakan.
Menulis di daun lontar ini dengan cara mengukir huruf-hurufnya menggunakan pisau kecil (pĕngutik / pĕngrupak). Setelah itu kulit diolesi minyak kĕmiri (tingkih) berwarna
hitam yang menyerap hingga ke dalam goresan yang telah diukirkan.
Setelah kulit lontar dibersihkan, cairan hitam tinggal di dalam ukiran
huruf-huruf yang nampak jelas.
Pengawetan dengan cara ini pada akhirnya juga rusak karena lamanya
waktu dan termakan serangga. Maka kebanyakan naskah yang ditemukan hanya
berusia 100 hingga 150 tahun. Naskah-naskah yang berasal dari Jawa pun
diawetkan di Bali, disalin dengan huruf-huruf Bali.
Berbicara tentang huruf Bali, di daerah penyebarluasan kebudayaan
Hindhu-Jawa, prasasti tertuanya ditulis dengan huruf-huruf India. Sejak
tahun 832 muncul bentuk huruf lain yang bentuknya dipengaruhi tulisan
India namun memperlihatkan sifat khasnya dan tidak ditemukan di luar
Jawa. Tulisan ini disebut tulisan Jawa Kuno dan kemudian di pakai secara
resmi dalam berbagai macam kepentingan.
Tulisan Jawa dan Bali yang hingga saat ini masih digunakan, sangat
berbeda dengan tulisan Jawa Kuno. Rupanya karena sangat mirip, maka
tulisan Jawa dan tulisan Bali dianggap sebagai satu jenis tulisan dengan
varian yang berbeda. Keduanya tidak mungkin berasal dari tulisan Jawa
Kuno karena perbedaannya yang sangat besar.
Mengenai naskah Jawa Kuno yang ditemukan tertulis dalam tulisan Bali,
apakah bentuk aslinya ditulis dalam Jawa Kuno atau sejak awal dalam
tulisan Bali masih belum dapat diketahui kepastiannya. Masalahnya
adalah, ketika Jawa Kuno makin terdesak oleh budaya baru (Islam),
sedikit orang yang mempertahankan Jawa Kuno menggunakan tulisan ini
hanya untuk memenuhi sifat artifisial. Sehingga kadang kala ditulis
dengan halus dan indah namun terkadang juga buruk sekali. Akhirnya
terdapat perbedaan-perbedaan yang cukup kacau dalam tulisan Jawa Kuno.
Di lain pihak, naskah-naskah yang dibawa ke Bali di salin dengan
huruf-huruf Bali secara teratur dengan sedikit sekali kekeliruan. Maka
Bali sangat berjasa atas kesungguhan dalam pengetahuan dan minat mereka
untuk menjaga naskah Jawa Kuno.
Jasa Bali sangat besar karena kumpulan naskah sastra Jawa Kuno dan
Pertengahan yang kini disimpan di perpustakaan hampir semuanya berasal
dari Bali. Pada tahun 1928, didirikan lembaga Kirtya di bawah naungan
pemerintah Bali yang tujuannya melacak semua naskah yang ditulis dalam
bahasa Jawa Kuno dan Pertengahan, Bali, dan Sasak, yang terdapat di Bali
dan Lombok. Naskah-naskah ini kebanyakan dimiliki oleh perorangan,
disalin secara tepat oleh tim penyalin, kemudian naskah asli
dikembalikan pada pemiliknya.
Naskah-naskah yang ada hingga saat ini, dapat bertahan dari berbagai
faktor yang menghambatnya. Banyaknya naskah yang tidak dapat bertahan
hingga saat ini dimungkinkan bila pada suatu ketika hilang minat
terhadap karya sastra tersebut, atau karya itu dianggap tidak begitu
penting untuk diawetkan. Kesulitan semakin bertambah karena terkadang
satu naskah disebut dengan beberapa nama, atau malah sebaliknya,
beberapa naskah yang berbeda disebut dengan sebutan yang sama. Banyaknya
naskah yang tidak terselamatkan terkadang dapat diketahui dari
mempelajari kidung yang memunculkan nama kakawin-kakawin.
Siapa pun yang telah merelakan waktu dan tenaganya untuk menyalin dan
mengawetkan naskah-naskah itu sangat berjasa. Sayangnya, tidak mudah
untuk mengetahui siapa yang melakukannya, karena informasi mengenai ini
tidak pernah kita temukan dalam teks tersebut. Bila dalam kalangan
keraton, mungkin saja ada petugas yang bertanggung jawab untuk
kelestarian koleksi naskah. Untung saja terkadang setelah pekerjaannya
selesai, penyalin memberikan catatan sambil menceritakan kapan dan di
mana salinan itu diselesaikan. Kadang juga disebut namanya, sehingga
kita dapat memperkirakan kedudukannya dalam lingkungan sosial. Walaupun
terkadang catatan mengenai diri penyalin itu sangat sedikit, kebanyakan
hanya berisi perendahan diri tentang tulisan yang buruk dan kurangnya
kemampuan penyalin. Padahal penyalinan itu sama sekali tidak buruk.
Kalaupun ada beberapa yang tidak sama persis dengan teks aslinya, hal
itu dapat dipertanggungjawabkan. Ada pun tentang sedikit
perbedaan-perbedaan yang ada itu, dapat diperkirakan bentuk aslinya
melalui perbandingan dengan salinan lainnya.
Sekali lagi, usaha untuk mempelajari dan melestarikan sastra Jawa
Kuno patut dihargai. Apalagi dilakukan oleh masyarakan Bali yang dengan
niat besar mempelajari bahasa yang bukan bahasanya. Hingga saat ini pun
Jawa Kuno masih digemari. Ada perkumpulan aktif yang pada setiap
pertemuannya menampilkan dan mengapresisasi karya sastra Jawa Kuno.
Inilah sebabnya sangat beruntung masih terdapat dokumentasi budaya Jawa
Kuno. Karena tidak semua negara memilikinya.
Karya sastra yang berasal dari masa lampau ini diturunkan hingga masa
sekarang pasti lah dengan cara tertentu. Ada kemungkinan diturunkan
secara turun-temurun melalui lisan. Bila memang demikian maka akan
terdapat banyak perubahan dari bentuk aslinya. Hal ini tidak mungkin
berlaku pada kakawin yang berasal dari keraton Jawa, namun bisa terjadi
pada syair-syair dari kalangan rakyat.
Karya asli seperti yang dibuat oleh pengarangnya disebut autograf.
Idealnya, sebuah salinan naskah persis sama dengan autograf. Ini lah
yang berusaha dicapai oleh filologi, untuk menemukan hubungan yang
kira-kira paling dekat kesamaannya dengan karya asli.
Perintis penelitian sastra Jawa Kuno adalah R. Friederich. Ia
menerbitkan dua teks kakawin yang dicetak dengan huruf Jawa Modern dan
telah dicocokkan dengan bertuk huruf Jawa Kuno pada tahun 1850-1852.
Setelah itu bermunculan lah cetakan-cetakan naskah sastra Jawa Kuno
dengan berbagai macamnya, ada yang dilampiri terjemahan dalam bahasa
Bali, dengan penjelasan perihal varian-variannya, komentar yang panjang
lebar, atau pun terjemahan dalam bahasa Belanda. Bersama dengan H. N.
van der Tuuk yang juga menangani berbagai naskah. Pada masa selanjutnya
telah diketahui beberapa ahli yang menekuni bidang ini.
Untuk dapat mempertahankan suatu karya, diperlukan usaha yang tidak
mudah. Sangat diharapkan suatu bentuk yang sangat dekat dengan aslinya,
kecuali dalam bentuk fisik. Perihal bentuk teks, agar lebih mudah
dimengerti, maka salinan ditulis dalam teks roman. Sebenarnya cara ini
lebih rawan terjadi adanya kekeliruan dalam penafsiran karena gaya
bahasa dan penulisan huruf Jawa dan huruf Roman yang berbeda. Sehingga
penyalin hanya memiliki sedikit pilihan antara menyalin teks apa adanya
namun tidak mudah dimengerti atau bertoleransi dengan menyesuaikan
dengan tuisan yang digunakan namun beresiko tidak jelasnya arti teks
tersebut. Terutama bila teks berbentuk puisi dengan metrum India, setiap
kualitas kata sangat menentukan, sehingga tidak bisa mengerjakannya
dengan mudah.
Setiap penyunting naskah dapat menggunakan cara yang berbeda. Hal ini
dapat diterima asalkan agar tidak terjadi kekeliruan pemahaman, maka
penjelasan diberikan dalam bentuk kamus Jawa Kuno.
Bagaimana pun juga, proses transliterasi tidak lah mudah. Perbedaan
linguistik antara bahasa pada naskah asli dengan bahasa yang digunakan
cukup menyulitkan. Selain itu perlu diperhatikan juga perihal metrum dan
aturan-aturan yang berlaku pada naskah tersebut.
Harrah's Ak-Chin Casino Resort - Map - KTNV
BalasHapusHarrah's Ak-Chin Casino 포천 출장마사지 Resort. In 영천 출장마사지 the heart of the southwest, 천안 출장마사지 Harrah's Ak-Chin is an oasis of sophistication, a 경상남도 출장안마 place that feels Hotel Information 김천 출장마사지